Loading...

  • Sabtu, 02 Agustus 2025

Keajaiban Tokyo: Taksi sebagai perhubung antara Kebudayaan dan Kenyamanan

Taksi Tokyo
 
Selamat pagi sahabat, apa kabar pagi ini ? Sarapan pagi ini, sang pujaan hati menyuguhkan chi-chimi lengkap dengan sambal gochujang, yang kami beli saat singgah di Korea beberapa waktu lalu. Chi-chimi kali ini menggunakan kimuchi dan sedikit daun kuchai. Gochujang adalah pasta cabai khas Korea yang terbuat dari cabai merah, dab kedelai fermentasi, dengan rasa pedas, manis, dan sedikit asin. Sambil menyeruput Kopi hitam, saya membuat tulisan ini, untuk sedikit berbagi cerita menarik. Dang lupo BAHAGIA gaes !
 
Di pagi yang cerah, setelah tiba dari Narita Airport, kami berniat menuju Ten-Ten Guest house dari stasiun Asakusa, di Tokyo. Dari informasi yang diperoleh, guest house ini berjarak sekitar 10 menit berjalan kaki. Lantaran beberapa barang bawaan yang kami bawa cukup banyak, kami memutuskan untuk menggunakan taxi.
Setelah beberapa menit menunggu, sebuah mobil hitam elegan, bertuliskan Tokyo Taxi, tiba di depan kami. Pengemudi, seorang pria paruh baya yang terlihat rapi dengan tipi hitam setelan jas lengkap dengan atribut dan dasi, membuka pintu dengan senyuman ramah.
“Ohayogozaimasu,” ujar pengemudi dengan aksen Jepang yang sangat jelas namun ramah. Yulia mengangguk dan memberi tahu alamat tujuan yang dituju. “Ten-ten guest house onengai shimasu”, ujar sang pujaan hati.
 
Mobil berangkat, setelah sopir memasukan alamat di posselnya dan kemudian tetera angak 500 Yen sebagai tarif pertama alias tarif buka pintu. Satu hal gaes, tarif taksi di Jepang adalah tergantung kepada jarak dan waktu tempuh. Jadi kalau mobil ternena macet atau berhenti dilampu merah, meskipun jaraknya hanya beberapa meter, tarifnya bisa mencapai ribuan Yen. Mobil meluncur dengan mulus melalui jalanan Tokyo yang sibuk. Mobil taksi disini nyaris tanpa suara, karena berteknologi hybrid (listrik dan gas). Mobil ini dikengjaoi dengan Tv,meki bersuara sangat pelan.
Sambil melihat pemandangan kota yang penuh dengan gedung pencakar langit dan bunga sakura yabg sedang bermekaran. Saya merasa sangat tenang, meskipun Tokyo sangat ramai, pengemudi taksi itu berkendara dengan sangat hati-hati dan penuh perhatian terhadap setiap detail, seperti lampu merah dan kondisi jalan.
Dalam hati saya sedikit membandingkan dengan sopir Gocar di negeri tercinta. Sering saya mendapati gocar yang hanya menggunakan celana pendek lusuh saat mengemudi, dan bahkan belum mandi atau sikat gigi, saat menggunakan gocar ke kampus di pagi hari. Tidak jarang juga mobil gocar di dalamnya begitu kotor, dan berdebu. Tapi yah, east-west west-east indonesia is the best !
Sopir taksi disini berpakaian seperti direktur dengan dasi, jas dan parfum yang wangi. Didalam mobilnya begitu bersih, bahkan saya bikang lalat pun ajn terpeleset di dakam mobil ini. “Doko kara kimast ka ?, tanya pengemudi itu, memecah keheningan. “Indonesia desu”, jawabku sambil tersenyum. Ia terkesan dengan perhatian dan berdedikasi. Tak lama kemudian, mobil berhenti di lampu merah, dan ketika menunggu argometer taksi bertambah sedikit demi sedikit.
 
Selama perjalanan, suasana dalam mobil terkesan hening. Tidak ada musik yang mengganggu atau suara klakson yang sering terdengar di luar. Suasana dalam taksi sangat tenang dan nyaman, seolah-olah setiap detil telah dirancang untuk membuat penumpangnya merasa seperti di rumah. Ketika  tiba di tujuan, sopir menunjuk total biaya yang haris dibayar dan kita bisa membayar dengan dompet digital.
 
“Arigatoo gozaimasu, kyoskete kudasai,” kata pengemudi dengan sopan setelah proses pembayaran selesai. “ Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih, kemudian melangkah keluar dari taksi. Saya merasa sangat bersyukur atas pengalaman tersebut. Saya merasa sangat dihargai sebagai penumpang. Taksi di Jepang lebih dari sekadar transportasi, itu adalah cerminan keajaibn dari kehangatan dan perhatian sebagai budaya Jepang.
 
 
Laporan Prof. Admi Syarif, PhD (15/04/2025)
 

Tentang Penulis
Penulis di Admisyarifnews Sejak 01 February 2025
Lihat Semua Post