Keajaiban Tokyo: Taksi sebagai perhubung antara Kebudayaan dan Kenyamanan
Keajaiban Tokyo:
Loading...
Hari ini, Minggu, 10 Mei 2025, matahari pagi mulai menembus sela tirai kamar ketika aku menyiapkan diri untuk sebuah perjalanan yang tidak biasa—bukan sekadar pulang kampung, tapi pulang untuk merawat silaturahmi yang sempat tertunda oleh waktu. Saya, sang pujaan hati, papah dan mamah berencana mulang tiuh, untuk bersilaturahmi dan mengunjungi beberapa keluarga yang sakit.
Desa Gunung Katun, sebuah titik kecil yang hangat di Kecamatan Tulang Bawang Udik, menunggu kedatangan kami. Di dalam mobil, aku duduk di bangku depan bersama sang pujaan hati—yang pagi itu dengan sabar menjadi sopir kami. Mobil melaju perlahan, masuk ke pintu tol Kota Baru. Perjalanan dimulai pukul delapan tepat, diiringi doa dan harapan agar keluarga yang kami jenguk segera diberi kesembuhan.
Sekitar lima puluh menit kemudian, kami keluar di pintu tol Penumangan. Layar digital dipintu tol menunjukkan biaya tol: seratus empat puluh dua ribu rupiah. Tapi tentu saja, nilai itu tak sebanding dengan rindu yang hendak kami bayar dengan peluk dan sapa. Hari ini, kami berencana mengunjungi tiga keluarga di kampung.
Setiap kunjungan adalah potongan kenangan tak terkupakan. Wajah-wajah yang dulu sering kami temui, kini tampak lebih tua, lebih letih, tapi tetap bersinar oleh kasih sayang. Kami begitu bergembira dan disambut dengan senyum hangat keluarga. Pelukan-pelukan kerabat yang lama tak bersua lberasa begitu hangat. Hari ini kami bersilaturahmi dengan tiga keluarga dekat dari pihak papah dan mamah, ada bibi, paman dan wak. Alhamdulillah mereka tampak semakin membaik dan bahagia menerima kedatangan kami. Mereka masih dengan jelas mengenali kami satu persatu. Alhamdulilah !
Siang semakin tinggi. Perut mulai memberi isyarat, dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju tujuan terakhir yang sudah terencana hari ini—sebuah restoran kecil bernama Seruit Kiai. Letaknya strategis, tak jauh dari Islamic Center Tubaba dan berdiri anggun di depan Tugu Rato. Setiap kalu mulang tiuh selalu saja saya sempatkan mampir dan sudah lama ingin kembali ke sana, untuk sebuah kenikmatan kuliner yang tak tertandingi. Terakhir kali berkunjung, saat menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN mahasiswa Unila dua tahun lalu. Kangen rasanya menikmati seruit dengab rasa di balik aroma terasi dan asap pindang.
Begitu tiba, pemilik restoran menyambut kami dengan senyum lebar. “Apa kabar, Pak Admi? Lama ya nggak ke sini.” Aku tertawa pelan. “Baik banget. Kangen dengan terasinya, ha ha ha.” Ternyata ibu itu sangat ingat dengan saya.
Dan memang, restoran ini bukan sembarang tempat makan. Ia adalah perpaduan rasa, kenangan, dan identitas. Seruitnya bukan sembarangan seruit Kini, kedondong hutan menjadi bagian penting dalam kuliner seruit Lampung, terutama di Tubaba, karena memberikan sensasi alam yang liar dalam setiap suapan..
Ikan jelabat dan baung segar yang dibakar hingga kelezatannya meresap. Ikan jelabat adalah salah satu jenis ikan air tawar yang termasuk dalam famili Bagridae. Di banyak daerah di Sumatera, termasuk Tulang Bawang Barat (Tubaba), ikan ini sangat dihargai karena rasanya yang gurih, teksturnya lembut, dan cocok untuk olahan khas seperti seruit, pindang, atau bakar sambal.
Sati lagi gaes, seruit disini juga menjadi spesial karena dilekapi dengan asam kedondong hutan yang menjadi penambah rasa yang tidak kutemui di tempat lain. Rasanya asam, tajam, dengan sedikit rasa getir—tapi justru itu yang membuat sambal terasi pedas jadi lebih hiduo. Kedondong hutan ini menjadi bagian penting dalam kuliner Lampung, terutama seruit, karena memberikan sensasi alam yang liar dalam setiap suapan.
Sambalnya pedas, pekat dan wangi—aku curiga terasinya alias delannya berasal dari Menggala. Lalapannya juga lengkap banget gaes: jengkol goreng, daun jambu mete, dan aneka rebusan yang menggoda.
Tapi yang paling kuingat adalah pindangnya. Kuahnya bening, hangat, dan punya rasa Lampung yang tidak bisa dideskripsikan—hanya bisa dirasakan.
Kami makan dalam diam yang damai. Tak banyak kata, hanya suara sendok, piring, dan sesekali tawa kecil. Di antara suapan dan obrolan ringan, aku sadar—hari ini sempurna dalam kesederhanaannya. Silaturahmi yang terjaga, rasa yang dirindukan, dan waktu yang terasa lebih lambat di desa kelahiran.
Selepas siang, kami beranjak pulang. Mobil kembali melaju, tapi hatiku masih tertinggal di meja makan Seruit Kiai, di hangatnya sambutan keluarga, dan di desa kecil bernama Gunung Katun yang selalu mengajarkan bahwa pulang adalah tentang merawat, bukan sekadar kembali. Salam sehat selalu dan dang lupo BAHAGIA geh !
Laporan: Prof. Admi Syarif, PhD
Keajaiban Tokyo:
Mengan bangek