Loading...

  • Minggu, 03 Agustus 2025

Bubur Labu Kuning: Manisnya Rasa, Dalamnya Makna

Bubur Labu Kuning

oleh: Prof. Admi Syarif, PhD

Dosen Unila dan Tukang Tulis

Subuh baru saja berlalu, udara pagi masih sejuk, dan cahaya matahari perlahan menyelinap di antara dedaunan di halaman rumah. Aku berjalan menuju dapur, mengikuti aroma lembut yang menyelinap ke seluruh ruangan. Wanginya daun pandan berpadu dengan santan yang gurih dan   manisnya gula aren, menciptakan suasana yang mengundang selera.
Di meja makan, mbak Ti (Asisten rumah tangga) telah menyajikan semangkuk bubur labu kuning . Warnanya begitu menggoda—kuning keemasan, berkilau lembut di bawah sinar lampu. Di atasnya, taburan kelapa parut menambah tekstur, membuat nya terlihat semakin menggugah selera.
Aku tersenyum, mengingat asal-usul labu kuning yang kini tersaji dalam bentuk bubur hangat ini. Beberapa waktu lalu, seorang penghuni rumah singgah asal Jabung (Lampung Timur), Ibu Fajri, datang membawa dua buah labu kuning.
“Ini buat Yanda, panenan dari rumah,” katanya dengan senyum tulus, menyerahkan dua buah labu berwarna jingga cerah.Aku tahu betul perjuangan Ibu Fajri. Ia sering menginap di rumah singgah, menemani putrinya yang berjuang melawan Thalasemia dan suaminya yang juga berjuang melawan kanker usus. Ah, kini suami ibu Fazri sudah meninggal. Meskipun hidupnya tidak mudah, ia selalu berbagi. Setiap kali datang, ia membawa oleh-oleh—kadang pepaya, kadang singkong. Kali ini, labu kuning dari kebunnya. Aku menghela napas, merasa bersyukur. Aku selalu percaya bahwa apa yang kita tanam, cepat atau lambat, akan berbuah. Begitu juga dengan kebaikan.
 
Labu kuning ini mengingatkanku pada kebun kecil di belakang rumah. Beberapa waktu lalu, aku menanam benih labu kuning di tanah yang gembur, dengan harapan kelak bisa menikmati hasilnya. Hari demi hari, aku melihatnya tumbuh. Dari tunas kecil, menjadi sulur-sulur yang merambat, hingga akhirnya berbunga. Lalu, muncullah buah-buah kecil yang semakin hari semakin membesar. Saat panen tiba, aku memetik labu-labu itu dengan perasaan bangga dan syukur.
 
Aku mengambil album foto lama, mencari gambar-gambar saat panen. Saat menemukannya, senyumku mengembang. Di dalam foto, aku berdiri di kebun, memegang labu kuning dengan ekspresi puas. Kenangan itu kembali menyegarkan pikiranku.
 
Benar adanya, tidak ada balasan pasti dari perbuatan baik, kecuali kebaikan itu sendiri.
Aku duduk di meja makan, mengambil sendok, dan mencicipi bubur labu kuning buatan Mbak Neneng, asisten rumah tangga kami. Rasanya lembut, manis alami, dan gurih dari santan yang berpadu sempurna. Biasanya, aku hanya mengolah labu kuning dengan cara dikukus. Tanpa tambahan apa pun, labu ini sudah memiliki rasa yang begitu nikmat. Namun, kali ini Mbak Neneng membuatnya lebih istimewa—dengan tambahan santan, gula, dan sejumput garam untuk keseimbangan rasa.
 
Setiap suapan bubur ini seperti membawa kehangatan tersendiri. Aku teringat pada adegan dalam drama Korea, di mana seorang tokoh utama duduk di tepi jendela saat hujan turun, menikmati bubur labu kuning dengan tenang. Ada sesuatu yang menenangkan dalam semangkuk bubur ini—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa.
Bubur labu kuning ini bukan sekadar makanan. Ia membawa cerita, kenangan, dan pelajaran. Dari Ibu Fajri, aku belajar bahwa berbagi tidak harus menunggu berlebih. Dari kebun belakang, aku belajar bahwa kesabaran dalam menanam akan selalu menghasilkan panen. Dan dari bubur ini, aku kembali diingatkan bahwa hal-hal sederhana bisa membawa kebahagiaan yang mendalam.
Aku menatap mangkuk bubur yang hampir habis. Suapan terakhir terasa lebih bermakna. Sambil meneguk teh hangat, aku tersenyum dan berbisik dalam hati: “Terima kasih, Ibu Fajri. Terima kasih, kebun kecilku. Terima kasih, semangkuk bubur labu kuning yang mengajarkanku akan arti menanam kebaikan.”
Jadi, mari terus menanam, baik itu tanaman di kebun atau kebaikan dalam hidup. Karena cepat atau lambat, kita akan menikmati panennya.

Tentang Penulis
Penulis di Admisyarifnews Sejak 01 February 2025
Lihat Semua Post