Loading...

  • Minggu, 03 Agustus 2025

Cerita Ramadan di Jepang: Antara Kus Kus, Sushi, Soto Ayam, dan Azan di Tengah Salju

Bersama sang pujaan hati

 

Oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
Dosen Unila dan Tukang Tulis

“Di negeri Sakura,
puasa bukan sekadar menahan lapar,
ia menjelma doa-doa rindu, bersama angin yang bertiup di atas salju, menyeberangi samudera dan 
menghapus jarak antara Kiryu dan Lampung”

Ramadan selalu datang membawa cerita. Ia mengetuk pintu hati pelan-pelan, mengingatkan bahwa setiap detik bukanlah sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga tentang merawat rindu, dan merajut kenangan.

Setiap kali Ramadan tiba, ingatan saya melompat jauh ke 30 tahun silam. Jepang, negeri yang 12 tahun lamanya menjadi rumah kedua saya dan istri tercinta. Ramadan di sana selalu punya warna yang berbeda—kadang lucu, kadang haru, kadang juga romantis dengan cara yang sederhana.

Puasa pertama saya di Jepang, tahun 1995, jatuh di musim dingin. Kota Kiryu di Prefektur Gunma menyambut saya dengan angin yang menusuk tulang. Tapi di balik dinginnya udara, ada kejutan yang tak pernah saya lupakan: puasa super singkat!

Bayangkan, di Kiryu imsak jam 5.15 pagi, magrib sudah datang jam 16.20 sore. Belum sempat kangen sama es cendol, waktu berbuka sudah tiba. Saking cepatnya, puasa kami di Jepang waktu itu kayak konten TikTok—belum sempat bosan, eh udah selesai aja.

Setiap habis buka puasa, saya serinv iseng telpon papah dan mamah di Lampung. “Kami udah makan nasi, kalian masih makan angin, ya?” Canda saya. Jawaban dari seberang sana biasanya cuma dengusan kesal, bercampur iri. Hehehe.

Tapi gaes,  kalau Ramadan jatuh di musim panas, ceritanya langsung drama. Magrib bisa molor sampai jam 7 atau 8 malam. Ngabuburitnya panjang banget, kayak kuliah 5 SKS tanpa jeda. Kalau sudah begitu, yang diuji bukan cuma perut, tapi juga hati, kesabaran, plus keimanan.

Urusan logistik Ramadan di Jepang, jangan bayangkan semudah di Indonesia yang tinggal melipir ke warung depan rumah. Di Kiryu, kami bergantung pada kiriman mingguan daging, ayam, dan sosis halal dari toko Halal Food di Isesaki. Begitu kiriman datang, suasana langsung kayak pasar subuh. Semua heboh rebutan paha ayam, dada ayam, sampai ada yang rela barter Indomie demi sebongkah daging sapi.

Tapi di balik itu, ada pemandangan yang selalu menghangatkan hati saya: istri tercinta, dengan penuh cinta, selalu saja di dapur kecil menyiapkan menu berbuka dan makan sahur. Tangan terampilnya mengolah daging-daging itu menjadi hidangan penuh kenangan. Hari pertama soto ayam, hari kedua opor, hari ketiga ayam goreng tepung. Hari keempat, kami duduk berdua di ruang tamu sambil tertawa, “Besok ayamnya diapain lagi, Bun ?”, ujarku.

Lucunya, harga daging dan ayam di Jepang malah terasa sangat murah. Satu kilo daging sapi sekitar 900 Yen, satu ekor ayam 300 Yen. Kalau pakai kacamata beasiswa Yen, rasanya sangat  lebih murah daripada belanja bulanan di Pasar Koga.

Buka Puasa Rasa Internasional

Di kampus, Gunma Univerisity, komunitas Muslim kami berwarna-warni. Ada sekitar 30 mahasiswa Muslim dari Indonesia, Malaysia, Mesir, Pakistan, Bangladesh, Tunisia, sampai Guinea. Setiap Ramadan, selalu ada kiriman beberapa karung kurma dari Saudi Arabia dan Tunisia. Kurma yang kami santap bersama-sama, melintasi batas negara dan budaya.

Buka puasa bersama kami serasa festival kuliner internasional. Teman Pakistan datang bawa kebab berbumbu tajam, teman Tunisia andalannya kuskus, kawan Malaysia dengan nasi lemaknya yang gurih. Sementara saya, dengan bangga menyajikan soto ayam dan opor buatan istri. Dan seperti biasa, hidangan kami selalu jadi rebutan, bukan karena paling enak, tapi karena mereka penasaran—kenapa kuahnya bisa kuning cerah seperti sinar matahari.

Ada satu momen yang sampai hari ini bikin saya senyum-senyum sendiri. Suatu sore di musim dingin, sahabat-sahabat dari Maebashi (Prof. Netti, Dr. Zull, Dr. Sigit, Prof. John) datang berkunjung untuk buka puasa bareng. Salju turun pelan, menutupi halaman kampus Kiryu dengan selimut putih.

Menjelang magrib, kami sadar kolak dan sop buah yang kami siapkan masih hangat. Iseng, kami ambil beberapa baskom salju, lalu memasukkannya ke dalam kolak dan sop buah. Jadilah kolak salju dan sop buah beku yang rasanya entah lucu entah segar. Yang jelas, malam itu penuh tawa. Ramadan di negeri orang memang selalu penuh kejutan.

Ramadan, Jarak, dan Rindu yang Tak Pernah Usai

Di antara semua cerita lucu itu, ada satu rasa yang paling kuat saya rasakan setiap Ramadan di Jepang: rindu. Rindu pada suara azan dari masjid kecil di kampung halaman, rindu pada aroma kolak pisang buatan ibu, rindu pada canda khas keluarga saat sahur kesiangan.

Tapi justru di situ indahnya Ramadan di perantauan. Ia mengajarkan kami untuk lebih menghargai setiap detik kebersamaan, setiap suap makanan sederhana, dan setiap doa yang dipanjatkan diam-diam di tengah malam yang sunyi.

Jepang mungkin jauh, tapi Ramadan selalu membawa saya pulang. Pulang ke rumah, pulang ke kenangan, pulang ke hati sendiri.

Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan 1446 H. Semoga setiap rasa lapar, dahaga, dan rindu yang kita jalani, berbuah berkah yang melimpah. Jangan lupa, nantikan cerita saya berikutnya: Ramadan di Malaysia dan USA.

Salam hanga

Tentang Penulis
Penulis di Admisyarifnews Sejak 01 February 2025
Lihat Semua Post