Keajaiban Tokyo: Taksi sebagai perhubung antara Kebudayaan dan Kenyamanan
Keajaiban Tokyo:
Loading...
Oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
(Alumni Jemuran Lembap)
“Hidup itu kayak jemuran pasca banjir — kalau nggak sabar, yang ada cuma bau apek. Kalau dijemur terus, insyaallah wangi juga pada waktunya.”
Alhamdulillah, setelah hujan seminggu penuh plus bonus banjir dadakan, akhirnya langit mulai sadar diri. Tiga hari terakhir, matahari kembali hadir menyinari, angin bertiup mesra, dan jemuran mulai ceria. Pakaian yang tadinya mirip acar karena lembap berhari-hari, sekarang udah mulai renyah kembali. Tinggal satu yang bandel: kasur.
Si kasur ini levelnya kayak mantan yang susah move on. Udah dijemur, dijemur lagi, tetep basah. Langsung kami nobatkan jadi Duta Lembap Nasional. Mau dipaksa jemur di terik takut malah jadi sarang bau matahari. Akhirnya, kasur menjalani terapi angin-anginan sambil berharap semesta mendukung.
Urusan listrik juga sempat bikin jantungan. Saklar-saklar yang tadinya benda mati, mendadak jadi air mancur mini. Berkat aksi heroik tim Kurnia cs — yang kalau ada lomba pengeringan saklar pasti juara — listrik akhirnya hidup kembali. Mesin air yang sempat mogok kayak hati ditinggal janji palsu, sekarang udah semangat lagi, berkat bro Sholeh.
Tapi, si kulkas masih ngambek. Kayaknya dia butuh me time lebih lama. Hari ini rencananya tukang servis, uda tafsir, datang, semoga diagnosanya bukan penyakit mahal. Kalau sampai divonis ganti kompresor.
Soal cucian, alhamdulillah, sebagian baju yang diselamatkan dari air bah udah pulang dari Modern Laundry. Mereka pulang dalam kondisi wangi dan siap masuk lemari. Untuk pakaian yang basah, sudah dibagikan kepada mereka yang bersedia mengambilnya. Karpet? Nah ini beda cerita. Karpet yang sempat berenang bersama banjir, sekarang lagi dijemur berjamaah. Kalau sampai hujan mampir lagi, fix karpet-karpet ini akan naik level jadi Kolam Karpet Waterpark.
Photo : paph memantau pengeringan jalan
Ada sesi perpisahan juga. Buku-buku, alat elektronik, charger, kabel, sampai radio nostalgia, akhirnya pamit lewat tukang rongsok. Ini bukan sekadar buang barang, ini pelepasan masa lalu, karena semua buku-buku dari Jepang ikut ditransfer. Sedih sih, tapi apa daya. Yang basah ya sudah, yang rusak ya relakan. Sebagai ganti, datanglah Mac-Pro-2024, membawa cahaya, semangat dan harapan baru, kayak jodoh baru setelah patah hati.
Sementara itu, pagar rumah juga nggak mau kalah eksis. Berkat sahabat Mas Mulyono, yang mengirimkan 7 pasukan khusus (mirip Avengers versi tukang), plus Pak Suroto dan gengnya, proyek pagar berjalan dengan semangat gotong royong level RT RW. Targetnya? Sebelum lebaran pagar udah kinclong. Soalnya, masa tamu datang disambut pagar setengah roboh? Kan nggak estetik.
Terakhir, ada si putih dan si hitam manis. Setelah ikut merasakan sensasi offroad, sekarang mereka lagi rawat inap. Harapannya, semoga nggak butuh tindakan transplantasi dompet. Karena kalau sampai begitu, yang kering bukan cuma jemuran, maklum nggak dicover BPJS. Terima kasih papah untuk pinjaman kudanya.
Pelan-pelan semua dibenahin. Nggak bisa langsung kayak sulap, tapi yang penting tiap hari ada progress. Semoga nggak ada episode “plot twist” baru lagi. Buat teman-teman yang udah kirim doa, semangat, bahkan sekadar kirim sticker lucu di grup WA, terima kasih banyak! Semoga kita semua sehat, urusan lancar, dan jemuran selalu kering sebelum maghrib.
“Setelah banjir reda, yang dibutuhkan bukan hanya matahari, tapi juga kesabaran level malaikat”
Catatan: Ternyata sore ini hujan lagi. Tapi, alhamdulillah air nggak meluap.
Salam kering!
Keajaiban Tokyo:
Mengan bangek