Loading...

  • Sabtu, 02 Agustus 2025

Meski Suara Beduk Tak  Bergema, Ramadhan Tetap Membawa Cahaya: Kisah Ramadhan di Singapura

Puasa di Singapura (Photo : koleksi pribadi)

Prof. Admi Syarif, Ph.D.
Dosen Unila dan Tukang Tulis

“Ramadhan memang bukan hanya tentang waktu berbuka,
bukan juga hanya tentang makanan yang tersaji.
Ia tentang kebersamaan yang tak ternilai,
tentang doa-doa yang mengikat hati.”


Tidak terasa, hari Sabtu 1 Maret 2025, kita kembali  telah memasuki bulan Ramadhan 1446 H. Ramadhan selalu menjadi bulan yang dinanti oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Bulan yang penuh keberkahan, tempat segala amal baik dilipatgandakan pahalanya dan diampunindosa-dosanya. Kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, menahan diri dari hal yang sia-sia, serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

Di Indonesia, umat Muslim selalu mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan puasa dengan begitu meriah. Jalanan semakin ramai, pasar dipenuhi oleh masyarakat yang berbelanja kebutuhan Ramadhan. Pedagang kelapa muda di sebelah mulai menumpuk ribuan butir dagangannya, dan di setiap sudut kota, suasana Ramadhan sudah terasa begitu akrab.

Namun, bagaimana dengan suasana Ramadhan di luar negeri dan berbagai kota ? Saya kebetulan mendapatkan pengalaman beberapa kali berpuasa di Singapura, Jepang dan Malaysia dan beberapa kota. Berikut Ceritanya !

Puasa di Negeri Singa adalah nostalgia yang selalu membekas. Saya berkesempatan dua kali menjalani puasa di negeri Singa, saat menanti kelahiran putri kami. Ramiza Lionatasya (Lion: Singa) lahir di Gleaneagle Internasional Hospital 9 April 2012. Selama hampir dua tahun  di sana, kami tinggal bersama adik saya yang kala itu sebagai pimpinan Bank BNI di Singapura.

Berpuasa di negeri orang selalu menghadirkan pengalaman yang berbeda. Di tanah air, suara azan berkumandang nyaring, menjadi pertanda waktu shalat dan berbuka. Namun di Singapura, suasana itu lebih sunyi, lebih tenang. Tidak ada pengeras suara masjid yang mengajak sahur dengan lantunan doa, tidak juga ada bedug yang bertalu-talu menjelang maghrib.

Namun, meskipun suasananya berbeda, Ramadhan tetap membawa kehangatan. Salah satu hal yang membuat Ramadhan di Singapura terasa istimewa adalah kesempatan untuk berbuka puasa bersama adik saya dan keluarganya.

Di tengah kesibukan pekerjaan dan hiruk-pikuk kehidupan di kota metropolitan seperti Singapura, berbuka puasa bersama keluarga adalah momen yang sangat berharga. Kami sering berbuka bersama di apartemen adik saya, menikmati kebersamaan di meja makan sederhana, ditemani berbagai hidangan yang mengingatkan kami pada kampung halaman.

Biasanya, menjelang waktu berbuka, kami sibuk menyiapkan hidangan bersama. Adik saya dan Hakimah (ART yang selalu ikut kami) memasak makanan khas Indonesia—soto ayam, sambal goreng hati, atau rendang—sebuah kemewahan tersendiri di negeri orang. Saya sering membantu menata meja, sementara istri saya memastikan bahwa takjil seperti cendol dan kolak pisang tersedia untuk kami nikmati setelah adzan berkumandang.

Setiap kali berbuka bersama, ada kehangatan yang sulit dijelaskan. Meskipun jauh dari tanah air, kebersamaan ini membuat kami merasa dekat dengan rumah. Kami berbincang tentang keluarga di kampung, tentang kenangan masa kecil, tentang orang tua yang kami rindukan.

Saya ingat satu momen yang sangat berkesan. Suatu hari, setelah berbuka, kami duduk di balkon apartemen yang menghadap ke pusat kota Singapura. Langit mulai gelap, lampu-lampu gedung tinggi mulai menyala, dan di kejauhan, suara kendaraan berlalu lalang tanpa henti.

Di tengah kota yang tak pernah tidur ini, kami menemukan ketenangan dalam kebersamaan. “Kadang aku rindu suara bedug maghrib di kampung,” ujar dik Teti, sambil menyesap segelas teh hangat. Saya tersenyum, memahami perasaannya. “Ramadhan memang paling indah di rumah sendiri,” jawab saya.

Namun, malam itu kami sadar bahwa Ramadhan bukan soal tempat, melainkan soal hati. Selama kita menjalankannya dengan penuh keikhlasan dan kebersamaan, suasana Ramadhan akan selalu terasa hangat, di mana pun kita berada.

Selain berbuka bersama di rumah, kami juga beberapa kali sengaja pergi ke Geylang Serai, kawasan yang dikenal sebagai Kampung Melayu di Singapura. Tempat ini menjadi pusat bazar Ramadhan yang meriah, dengan ratusan tenda makanan yang menjajakan berbagai hidangan khas Melayu dan Indonesia.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 16.00, menyusuri jalanan Singapura yang rapi dan tertata. Sesampainya di sana, kami disambut dengan suasana yang begitu hidup—aroma sate yang dibakar, wangi kuah gulai yang mengepul, dan suara tawar-menawar pedagang menjadi simfoni khas Ramadhan.

Di sini, saya mencicipi gorengan cempedak untuk pertama kalinya. Teksturnya lembut, rasanya manis dengan aroma khas yang begitu menggoda. Kami juga menikmati gulai tulang kaki kambing pedas, hidangan khas Malaysia yang kaya akan rempah dan begitu menggugah selera.

Waktu berbuka di Singapura sekitar pukul 19.30 waktu setempat, lebih lambat dibandingkan di Indonesia. Tidak ada suara bedug atau azan yang menggema ke seluruh kota, tetapi ketika waktu berbuka tiba, seluruh bazar mendadak sunyi. Semua orang duduk, menundukkan kepala, dan dengan tenang menikmati hidangan mereka.

Saya menatap adik saya yang duduk di sebelah, tersenyum. “Meskipun beda negara, rasanya tetap sama, ya?” Ia mengangguk. “Ramadhan selalu punya cara membuat kita merasa dekat dengan rumah.”

Hari ini, ketika saya mengenang kembali Ramadhan di Singapura, ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Saya tulis dan bagikan cerita ini untuk merawat syukur dihati. Saya menyadari bahwa di mana pun kita berada, Ramadhan tetap sama. Ia datang dengan cahaya yang suci, mengajarkan kita makna menahan, makna berbagi, dan makna untuk selalu kembali pada hati yang lebih bersih.

Buka puasa bersama keluarga di negeri orang mengajarkan saya satu hal: Rumah bukan hanya soal tempat, tetapi tentang orang-orang yang membuat kita merasa pulang. Semoga kita semua diberikan kekuatan dan kesehatan untuk menunaikan ibadah puasa di bulan yang penuh berkah ini.

Selamat menjalankan ibadah Ramadhan Mohon maaf lahir dan batin.

Di bawah langit yang muram, di atas sajadah yang lembab,
aku belajar sesuatu: Meski Ramadhan kebanjiran air, tetap tersisa  harapan hatiku tetap  kebanjiran cahaya.

Tentang Penulis
Penulis di Admisyarifnews Sejak 01 February 2025
Lihat Semua Post