Keajaiban Tokyo: Taksi sebagai perhubung antara Kebudayaan dan Kenyamanan
Keajaiban Tokyo:
Loading...
Oleh : Prof. Admi Syarif, PhD Dosen Unila dan tukang tulis
Dua tahun lalu, saya membeli bibit Pisang “Raja Sajen” secara online di BukaLapak. Saya membaca banyak tentang pisang ini—tentang bagaimana ia memiliki rasa yang manis legit, teksturnya yang padat, serta makna filosofisnya dalam budaya Jawa dan Bali. Pisang ini sering digunakan dalam ritual adat dan dipercaya membawa berkah. Saya membayangkan betapa istimewanya jika bisa menanam dan menikmati sendiri buah ini. Dariu Namanya, "Sajen atau sesajen" dalam Bahasa jawa berarti "persembahan," yang mencerminkan peran pisang ini sangat luar biasa sehingga digunakan untuk berbagai ritual dan upacara.
Setelah bibitnya tiba, saya menanamnya di halaman belakang rumah. Awalnya, pohonnya kecil dan tampak ringkih, tetapi saya yakin, dengan perawatan yang baik, pohon ini akan tumbuh kuat. Kadang-kadang, saya berbicara pada pohon itu—entah sekadar mengomentari pertumbuhannya atau berharap agar ia segera berbuah. Bulan demi bulan berlalu, pohonnya semakin tinggi. Daun-daunnya lebar dan hijau segar, memberikan keteduhan di sekitar halaman. Sesekali, angin sore membuat dedaunan bergoyang pelan, seolah menyapa. Saya semakin yakin bahwa pohon ini tumbuh dengan baik, meskipun belum ada tanda-tanda buahnya akan muncul. Tahun pertama berlalu tanpa ada tanda-tanda tandan pisang. Saya mulai sedikit khawatir—apakah pohon ini benar-benar akan berbuah? Apakah saya salah merawatnya? Namun, saya tetap merawatnya dengan sabar. Saya sering mendengar bahwa pisang Raja Sajen memang butuh waktu lebih lama untuk berbuah dibandingkan jenis pisang lain. Memasuki tahun kedua, sebuah kejutan datang. Beberapa waktu lalu, saya melihat ada bunga pisang yang mulai muncul. Jantung pisangnya perlahan tumbuh, lalu berkembang menjadi bakal buah yang semakin besar dari hari ke hari. Saya sangat antusias dan setiap hari, saya memperhatikan pertumbuhan pisang itu dengan penuh harap. Bulir-bulir pisangnya semakin jelas, tersusun rapi dalam satu tandan besar. Saya semakin tidak sabar menunggu momen panennya. Tiga hari lalu, ketika saya sedang duduk di teras seusai olahraga pagi, mbak Neneng, asisten rumah tangga kami datang menghampiri saya dengan senyum ceria. "Yanda, pisangnya sudah saya tebang karena sudah matang di pohon," ujarnya. Saya sedikit terkejut. Pisang yang saya tunggu selama dua tahun ternyata sudah dipanen tanpa saya sempat melihatnya matang langsung di pohon. Tapi rasa penasaran saya segera mengalahkan keterkejutan itu. Saya bergegas menuju dapur, tempat pisang itu diletakkan. Saat melihatnya, saya terdiam sejenak. Warnanya kuning keemasan, dengan beberapa bercak cokelat kecil di kulitnya—tanda bahwa pisang ini matang dengan sempurna di pohon. Bentuknya lebih kecil dibandingkan pisang raja biasa atau pisang kepok, tetapi terlihat sangat padat dan menggoda. Saya mengangkat tandan buah tersebut dan mengambil foto bersama pisang yang sudah saya tunggu-tunggu ini.
Saya kemudian mengambil satu buah, mengupasnya perlahan, lalu menggigitnya. Begitu rasanya menyentuh lidah, saya langsung mengerti mengapa pisang ini begitu istimewa. Dagingnya lembut, tetapi tidak mudah hancur. Rasanya manis, dengan sedikit sentuhan karamel alami yang semakin terasa saat dikunyah. Bentuk buah sedikit lebih kecil dan daging buah yang manis serta padat. Aromanya harum dan khas, lebih kuat daripada pisang pada umumnya. Saya tersenyum sendiri—perjalanan panjang dua tahun ini akhirnya terbayar lunas dengan rasa yang begitu nikmat. Karena buahnya yang berisi banyak dan tumbuh berkelompok, pisang ini nampaknya merepresentasikan keberkahan dan kebersamaan. Kemarin, ketika sudah masak semua, saya menyadari bahwa pisang ini terlalu banyak jika dimakan sendiri. Lagipula, kebahagiaan akan lebih besar jika dibagi. Saya pun mulai membagikan pisang ini kepada orang-orang di sekitar saya—teman-teman, rumah singgah, tetangga, dan keluarga. Ayahanda, mengupas pisang raja sajen ini dengan penuh rasa ingin tahu. Setelah menggigitnya, matanya langsung berbinar. "Masya Allah, ini puttei ijo bangek temon (enak sekali)! Rasanya mak gegoh (beda) jamo puttei biaso," katanya dengan antusias. Beberapa teman yang saya berikan juga memberikan respons serupa. Pak Suroto, tukang senior saya, bertanya boleh nggak mendapatkan bibitnya. Saya merasa bahagia bisa membagikan sesuatu yang istimewa ini dengan mereka. Kini, pohon pisang Raja Sajen pertama saya telah memberikan buahnya, dan saya semakin yakin bahwa menanam sesuatu bukan hanya soal menunggu hasilnya, tetapi juga menikmati prosesnya. Saya berharap, di tahun-tahun mendatang, pisang-pisang dan buah-buahan lain yang saya tanam akan terus berbuah dan memberikan lebih banyak kenikmatan, tidak hanya untuk saya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar saya. "Ini pisang yang langka ya? Kok rasanya beda?" tanya salah seorang penghuni nuwo inspirasei. Saya mengangguk, merasa bangga dengan keputusan saya dua tahun lalu untuk menanam pisang ini. Rasanya bukan hanya sekadar panen buah, tetapi juga panen pengalaman, kenangan, dan kebahagiaan yang bisa dibagikan kepada orang lain. Kini, pohon pisang “Raja Sajen” pertama saya telah memberikan buahnya, dan saya semakin yakin bahwa menanam sesuatu bukan hanya soal menunggu hasilnya, tetapi juga menikmati prosesnya. Saya berharap, di tahun-tahun mendatang, pohon ini akan terus berbuah dan memberikan lebih banyak kenikmatan, tidak hanya untuk saya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar saya. |
` |
Keajaiban Tokyo:
Mengan bangek