Keajaiban Tokyo: Taksi sebagai perhubung antara Kebudayaan dan Kenyamanan
Keajaiban Tokyo:
Loading...
Oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
Dosen Unila dan tukang tulis
Hanya dalam waktu seminggu setelah beliau dilantik menjadi kepala Dinas Pendidikan, pagi ini beredar luas berita sebanyak 57 kepala sekolah di Lampung mengalami rolling. Kebijakan ini menghadirkan sedikit pertanyaan buat saya. Apakah ini langkah strategis untuk memperbaiki mutu pendidikan di Lampung, atau hanya bagian dari dinamika birokrasi yang kerap terjadi setiap ada pergantian kepemimpinan? Tentu kita memahami tugas berat pemerintah (Kadis) untuk menghadirkan pendidikan bermutubdi Provinsi Lampung ditengah efisiensi atau refokusing anggaran saat ini.
Rotasi dalam birokrasi memang bukan hal yang aneh dan tabu. Dalam dunia pendidikan, pergantian kepala sekolah sering kali dilakukan untuk penyegaran, penyesuaian kebijakan, atau bahkan evaluasi kinerja. Namun, pertanyaannya adalah apakah rolling ini benar-benar dilakukan berdasarkan kebutuhan dan evaluasi kinerja yang objektif? Ataukah ini sekadar upaya untuk mengganti “orang lama” dengan “orang baru” tanpa ada indikator peningkatan kualitas pendidikan?
Seorang sahabat pernah mengibaratkan bahwa pejabat baru biasanya seperti orang yang baru membeli mobil bekas. Hal pertama yang dilakukan adalah mengganti semua oli, meskipun oli-oli tersebut baru saja diganti. Alasannya klasik: agar mesin berjalan lebih sempurna. Jika rolling kepala sekolah ini memang ibarat “penggantian oli” untuk memastikan sistem pendidikan berjalan lebih baik, tentu kita harus mendukungnya. Namun, apakah hal ini benar-benar dilakukan dengan perencanaan yang matang atau justru terlalu terburu-buru?
Lampung memang dikenal sebagai provinsi dengan IPM nomor buncit. Sebagai informasi, IPM mencerminkan tiga aspek utama, salah satunya adala Pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah
Dalam aspek pendidikan, rata-rata lama sekolah di Lampung masih tergolong rendah dibandingkan daerah lain. Artinya, banyak anak yang belum mendapatkan akses pendidikan yang optimal, baik dari segi fasilitas, kualitas pengajaran, maupun manajemen sekolah yang baik.
Maka, jika rolling ini memang didasari oleh kebutuhan untuk meningkatkan kualitas kepala sekolah yang lebih profesional dan memiliki inovasi dalam mengelola pendidikan, tentu ini adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, jika hanya sekadar pergantian tanpa perencanaan matang, dampaknya justru bisa menjadi kontraproduktif.
Dalam setiap rotasi pejabat, termasuk kepala sekolah, perlu adanya pemetaan dan evaluasi kinerja yang intensif sebelum keputusan diambil. Rolling yang dilakukan secara mendadak tanpa kajian mendalam justru berisiko menghambat stabilitas pendidikan.
Sebagai masukan, beberpa hal yang seharusnya dilakukan sebelum rolling kepala sekolah. Jika dimungkin ada transparansi yang lebih sebagai dasar roling atau penempatan posis pejabat. Jika rolling ini dilakukan tanpa pemetaan dan evaluasi yang jelas, maka yang terjadi hanyalah pergantian orang tanpa ada perubahan signifikan dalam mutu pendidikan.
Harapannya, setelah rolling ini, Sekolah-sekolah di Lampung bisa lebih baik dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Angka IPM Lampung dapat meningkat, terutama dalam aspek pendidikan.
Pada akhirnya, perubahan bukan hanya soal mengganti orang, tetapi memastikan bahwa orang yang ditempatkan benar-benar memiliki kapasitas untuk membawa pendidikan Lampung ke arah yang lebih baik. Jika ini hanya sekadar dinamika birokrasi tanpa dampak nyata bagi pendidikan, maka pergantian ini akan menjadi sia-sia.
Sekali lagi, menurut saya, yang terpenting bukan siapa yang menjabat, tetapi bagaimana mereka bekerja untuk memperbaiki mutu pendidikan di Lampung.
Keajaiban Tokyo:
Mengan bangek