Loading...

  • Minggu, 03 Agustus 2025

Tanjoeng Karang Tempo Doeloe: Suara Mercon, Doa dan Cahaya Malam di Bawah Langit Ramadhan

Bermain Jeduman saat bulan puasa (Sumber: Google}

 

oleh: Prof. Admi Syarif, PhD

 

———————
“Dan 
ada rindu yang diam-diam bergetar, akan suara letupan mercon yang menggelegar.
Pada kenangan Tanjoeng Karang tempo doeloe yang tak terganti,
pada Ramadan yang selalu dihati.”
———————

Cerita Ramadan selalu membawa kenangan yang melekat dalam ingatan. Lima puluh tahun lalu, saat kanak-kanak, saya tinggal di daerah DePasKo (Depan Pasar Koga), tepatnya di Gg. Gunung Sulah—sekarang dikenal sebagai Jl. Danau Toba—suasana yang sudah berubah drastis. 

Kala itu menjelang ramadhan, bocah-bocah dengan  bertelanjang dada, sibuk membersihkan Mushola Al-Muhajirin yang berdiri kokoh di depan rumah. Tikar-tikar  digelar di halaman, debu-debu disapu bersih, dan lantai dipel basah dengan air yang ditimba dari sumur di sebelah mushola. Bau tikar  bercampur dengan aroma lantai basah yang khas. Ini bukan sekadar ritual, ini tanda bahwa Ramadan benar-benar telah tiba.

Memasuki ramadhan, saat malam merayap, kampung semakin riuh. Kami mengangkat bedug kecil dari kulit kambing, berkeliling sambil memukulnya keras-keras. “Sahur! Sahur! Sahur!” teriakan itu menggema di sudut-sudut kampung. Tidak ada alarm, tidak ada suara ponsel. Hanya kentongan, suara bedug, dan pekikan bocah-bocah yang menggema menembus langit malam.

Di dapur, asap mengepul dari tungku kayu. Mamah menyiapkan sahur dengan menu sederhana—nasi hangat, aneka lalapan, ikan pepes atau gabus goreng, sambal terasi. Meski taknada sayur daging mewah, semuanya terasa luar biasa nikmat.

Usai subuh, kami tak langsung kembali tidur. Sebaliknya, anak-anak dan remaja turun ke jalanan, berjalan beriringan sepanjang jalan raya. Mereka menyebutnya “marathon sahur”—sebuah cara sederhana untuk mengusir kantuk. Beberapa masih mengenakan sarung atau mukena. Siang harinya kami ramain bermain kelereng di rumah tetangga.

Menjelang sore, kesibukan kembali meningkat. Mamah menyiapkan bukaan sederhana—kolak pisang, es cendol, atau kadang air sirup merah yang dingin. Kami membantu menimba air dari sumur, lumayan sumurnya dalam juga, menyiapkan diri untuk mandi sore.

Adzan maghrib menjadi momen yang paling dinanti. Tidak ada sirine, tidak ada pengumuman dari televisi—hanya suara bedug dari surau yang menandakan waktu berbuka telah tiba. tretek.. tek..tek dug.. dug..dug bunyi beduk dari mushollah. Kami berlari ke rumah, mulai menyantap kue lemet, menyesap es cendol atau cincau, sebelum akhirnya duduk bersama untuk makan besar. Suasana makan dengan nyeruit bersama ini tentu menjadi kenangan tak terlupakan. Pastinya ada aneka lalapan (termasuk goreng jengkol), pepes ikan, terong, sambal pedas dan tempoyak untuk nyeruit bersama. Satu lagi gaes sayur kesukaannsaya yaitu gulai taboh ikan panggang gabus yang dicampur jamur, kulak-kukut. 

Namun, Ramadan di kampung tidak hanya tentang puasa dan sahur. Malam-malamnya juga selalu dipenuhi suara gelegar suara letupan mercon. Kami mengumpulkan uang receh sejak jauh-jauh hari untuk membeli kembang api dan berbagai jenis mercon dari pedagang kaki lima di Pasar Tengah, Tanjung Karang. Heran juga ya, ramadhan sekarang sudah nggak ada lagi yang jualan mercon ?

Ada mercon cabe, kecil tapi memekakkan telinga jika diinjak. Mercon terbang, yang bisa melesat ke udara sebelum meledak dengan cahaya berpendar. Mercon korek, yang cukup digesekkan untuk menimbulkan letusan kecil, sering dipakai untuk mengerjai teman. Tapi yang paling ditunggu adalah suara jeduman—meriam minyak atau karbit buatan sendiri dari bambu. Dengan bambu besar yang diisi minyak tanah, suara letusannya menggelegar, memantul dari rumah ke rumah. Jika terlalu dekat, bulu mata bisa ikut hangus atau baju berlubang terkena percikan api. Tapi siapa peduli? Ramadan tanpa jeduman rasanya hambar. Tidak jarang kamimmemasang kaleng susu di mukut jeduman, membuatnya melesat seperti peluru bersama suara dum..dum….dum.

Malam-malam di sepuluh hari terakhir menjadi lebih sakral. Kami berkeliling kampung, mengingatkan warga bahwa sudah masuk malam selikur, malam tiga likur, hingga malam-malam terakhir yang penuh harapan akan turunnya Lailatul Qadar.

Dan di akhir Ramadan, kami mulai sibuk ritual menyambut: dodol yang diaduk dalam belanga besar, kacang goreng yang disangrai di wajan tua, kue legit yang baru keluar dari panggangan. Ada satu hal yang selalu kami nantikan—limun dan sarsaparilla, minuman khas yang hanya muncul di hari Lebaran. Kenangan keceriaan ramadhan juga tak lepas dari keceriann dibelikan baju dan/atau celana lebaran. Sayang minuman limun dan sardaparilla kini sudah tinggal menjadi kenangan.

Begitulah Ramadan tempo dulu di Tanjoeng Karang. Tak ada kemewahan, tak ada gemerlap lampu. Tapi ada kehangatan yang tak tergantikan—suara mercon yang menggema, bau kayu terbakar di dapur, dan kebersamaan yang sangat terasa. Ramadan adalah tentang kenangan, tentang tradisi yang tak akan pernah pudar.

 

Tentang Penulis
Penulis di Admisyarifnews Sejak 01 February 2025
Lihat Semua Post