Keajaiban Tokyo: Taksi sebagai perhubung antara Kebudayaan dan Kenyamanan
Keajaiban Tokyo:
Loading...
oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
“Woii udah pada ngopi belom. Diem diem bae. Ngopi napa ngopi.” Sebagian kita mungkin hari-hari belakangan merasa dekat dengan kalimat ini.
Minum kopi (khususnya ulun Lappung) memang sejak lama diyakini dapat memberikan manfaat yang baik untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Akan tetapi, tentu saja agar rasanya nikmat dan mabfaatnya maksumal kita perlu mengetahui cara minum, takaran dan campuran yang baik. Dengan cara yang baik dan benar inilah kita bisa tetap bersama dengan kebaikan kopi. Banyak penelitian yang melaporkan kebaikan kopi khsusunya untuk mencegah diabetes dan kepikunan (dimensia).
Di berbagai sosial media, akhir-akhir ini, beragam video singkat yang berisi ujaran kecintaan kepada kopi. Foto-foto aktivitas minum kopi bersama teman muncul dan menyebar begitu cepat di smartphone kita via grup-grup WhatsApp, IG, Tiktok dan berbagai platform media sosial (medsos) lainnya. Dari anak-anak, embah-embah, hingga muli-muli cantik jadi “model video dadakan” dengan ajakan dan pertanyaan yang sama: udah pada ngopi belum!
Video-video tersebut sejatinya merupakan kemasan lain dari tren minum kopi atau ngopi yang tengah melanda Nusantara, khususnya Bumi Lampung. Bak pengantin pada musim haji, kedai-kedai dan kafe-kafe bermunculan secara masif dalam beberapa tahun terakhir. Coffee shop di hotel-hotel kembali bergairah dna berbagai tempat ngopi bertebaran di sudut-sudut kota.
Minum kopi di kedai atau kafe menjelma menjadi gaya hidup. Di medsos, foto-foto ketawa-ketiwi ngopi bersama kolega di kafe, kilar-kilir saban hari. Tren ini juga menjalar di Lampung. Padahal, sejatinya budaya atau kebiasaan ngopi bukan barang anyar. Ngopi atau ngupi/ngupei demikian lekat dengan masyarakat Bumi Ruwa Jurai sejak lampau.
Daerah ini merupakan surganya kopi sejak zaman old. Lampung merupakan salah satu daerah penghasil kopi di Indonesia. Kopi Lampung itu uenak. Rasanya makjleb. Menurut sahabat saya Juwendra Asdiansyah "Dilan rasanya tidak bakal sanggup bilang, Ngopi Lampung itu berat, kamu tidak akan kuat, cukup aku saja!". Ia menambahkan Tak perlu kopi-kopi bermerek dengan harga sebungkusnya puluhan hingga ratusan ribu. Cukup kopi-kopi kelas warung yang harga sebungkus kecilnya kurang dari Rp5 ribu, dijamin maknyus.
Khusus jenis robusta, Lampung memang merupakan produsen terbesar di Indonesia, dengan luas perkebunan kopi di Lampung sekarang mencapai ratusan ribu hektare. Kebun kopi Lampung tersebar di Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus, Lampung Utara, Pesisir Barat, dan Way Kanan. Hasil produksinya, sebagian diekspor ke beberapa negara di Eropa, Jepang, Timur Tengah, dan Australia.
Pertanyaannya, mengapa kopi dan ngopi yang merupakan “barang” dan “gaya” lawas kini mendadak tren? Apakah tren ngopi yang beranjak dari beranda rumah ke ruang-ruang kafe sudah membuat riang gembira alias memberi manfaat signifikan kepada pelaku perkopian di Bumi Ruwa Jurai, khususnya petani di daerah-daerah? Apakah harga Kopi sudah mebuat nasib petani kopi di Lampung zaman now sama gurihnya dengan biji-biji kopi yang lahir dari tangan dan keringat mereka? Atau malah kecut dan sepet layaknya kopi basi bekas kemarin?
Foto: Kopi Robusta Lampung @Nuwono Tasya
Keajaiban Tokyo:
Mengan bangek